Jumat, 12 Desember 2008

Pembatasan Kasasi Perkara TUN Dalam UU No.5 Tahun 2004 Tentang MA dan Sinkronisasinya dengan RUU Admistrasi Pemerintahan

Latar Belakang
Pada Tahun 2004 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah mensahkan Undang-undang (UU) No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman –yang mengganti sepenuhnya UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pembaruan peraturan perundang-undangan ini merupakan suatu keniscayaan dalam rangka pembenahan lembaga peradilan agar mampu menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh konstitusi kita.

. Pembaruan peraturan perundang-undangan ini merupakan suatu keniscayaan dalam rangka pembenahan lembaga peradilan agar mampu menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh konstitusi kita.
Pembaruan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan diatas pada dasarnya disamping ditujukan untuk menyesuaikan dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, juga ditujukan untuk membenahi kelemahan-kelemahan yang ada pada peraturan perundang-undangan yang lama. Menurut banyak kalangan, kelemahan yang mendasar dari peraturan perundang-undangan di bidang peradilan yang lama adalah kurang maksimal dalam mendorong upaya menciptakan sistem yang kondusif untuk melahirkan pengadilan yang independen, tidak memihak, bersih, kompeten, transparan dan efisien.
Terkait dengan kedudukan Mahkamah Agung terdapat beberapa kemajuan yang diatur dalam UU No.5 Tahun 2004 yaitu Perluasan organisasi Mahkamah Agung dan pemberian wewenang pada MA untuk mengelola aspek administrasi, organisasi dan keuangan pengadilan (penyatuan satu atap). Selain aspek organisatoris, UU No.5 Tahun 2004 juga mengatur tentang adanya pembatasan perkara yang dapat dimintakan kasasi (walaupun batasannya masih minim).
Adanya Pasal yang mengatur mengenai pembatasan kasasi Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA merupakan suatu terobosan hukum dalam rangka mengurangi penumpukan perkara Tata Usaha Negara yang masuk ke MA. Berdasarkan data yang direalese Januari 2007 maka didapati fakta bahwa sepanjang Tahun 2006, MA hanya menyelesaikan empat perkara dari 505 perkara kasasi TUN yang masuk ke MA.
Keberadaan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA ini bukannya tanpa pro kontra, pihak-pihak yang merasa berkeberatan dengan Adanya ketentuan pembatasan ini melancarkan berbagai upaya perlawanan baik itu melalui opini di media maupun upaya pengajuan perlawanan hukum dengan cara mengajukan uji materi UU MA kepada Mahkamah Konstitusi.
Uji materi Pasal 45A ayat (2) UU MA diajukan oleh Hendriansyah, Direktur CV Sungai Bendera Jaya, yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yang menganggap ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatur tentang pembatasan perkara di tingkat kasasi, dinilai melanggar hak dan rasa keadilan masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan pejabat daerah. Menurut kuasa hukum Hendriansyah, Tumbur Ompu Sunggu, kliennya dirugikan oleh Surat Keputusan Bupati Kutai Timur yang mencabut izin usaha sarang burung di Kutai Timur. CV Sungai Bendera Jaya telah mengantongi izin usaha selama tiga tahun. Namun, satu tahun kemudian izin tersebut dicabut dan diberikan kepada perusahaan lain. CV Sungai Bendera Jaya lalu mengajukan gugatan tata usaha negara ke Pengadilan TUN Samarinda dan dimenangkan. Namun, putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi TUN DKI Jakarta. Saat akan mengajukan kasasi, pihaknya ditolak oleh PTUN Samarinda karena ada aturan pembatasan kasasi.
Antara pembatasan kasasi terhadap Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah dalam rangka mengurangi penumpukan perkara di MA di satu sisi dengan kemungkinan terlanggarnya hak dan rasa keadilan masyarakat akibat adanya aturan tersebut di sisi lain merupakan hal yang menarik untuk dikaji secara akademis guna mendapatkan jawaban atas persoalan tersebut.
Selain itu mengenai pembatasan kasasi terhadap Terhadap perkara tata usaha negara dalam rangka mengurangi penumpukan perkara di MA ini juga memiliki relasi dengan penyusunan RUU Administrasi Pemerintahan yang saat ini tengah dipersiapkan pemerintah yang mengatur mengenai upaya peningkatan kualitas tindakan adminsitrasi negara yang salah satunya melaui paya pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara yang berkualitas. Selain mengatur mengenai upaya peningkatan kualitas tindakan adminsitrasi negara RUU Administrasi Pemerintahan (RUU AP) juga mengatur mengenai perluasan kewenangan PTUN. Salah satu perluasan kewenangan PTUN yang diatur dalam RUU AP adalah kewenangan untuk menguji Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang dan uraian diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut : Pertama, Apakah pembatasan kasasi terhadap Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah merupakan tindakan diskriminatif dan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Kedua, bagaimanakah Sinkronisasi pengaturan pembatasan kasasi perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah sebagaimana diatur dalam UU MA dengan perluasan kewenangan PTUN dalam RUU Administrasi Pemerintahan.

Pembahasan
A. Pembatasan Perkara dan Hak Masyarakat Untuk Mendapatkan Keadilan
Untuk menilai apakah Pembatasan kasasi Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam 45A ayat (2) huruf c UU MA melanggar hak masyarakat maka dapat dinilai dari beberapa faktor yaitu :Pertama, bagaimanakah definsi hukum dan keadilan serta bagaimana cara untuk mendapatkan keadilan bagi masyarakat diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (access to Justice); kedua, apakah disediakan upaya hukum jika seandainya terhadap putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon.
Hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Namun membebaskan konsep hukum dari ide keadilan cukup sulit karena secara terus-menerus dicampur-adukkan secara politis terkait dengan tendensi ideologis untuk membuat hukum terlihat sebagai keadilan. Jika hukum dan keadilan identik, jika hanya aturan yang adil disebut sebagai hukum, maka suatu tata aturan sosial yang disebut hukum adalah adil, yang berarti suatu justifikasi moral. Tendensi mengidentikkan hukum dan keadilan adalah tendensi untuk menjustifikasi suatu tata aturan sosial. Hal ini merupakan tendensi dan cara kerja politik, bukan tendensi ilmu pengetahuan. Pertanyaan apakah suatu hukum adalah adil atau tidak dan apa elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab secara ilmiah, maka the pure theoryof law sebagai analisis yang ilmiah tidak dapat menjawabnya. Yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan di dalamnya. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial.
Jika keadilan dimaknai sebagai kebahagiaan sosial, maka kebahagiaan sosial tersebut akan tercapai jika kebutuhan individual sosial terpenuhi. Tata aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun tidak dapat dihindarkan adanya fakta bahwa keinginan seseorang atas kebahagiaan dapat bertentangan dengan kepentingan orang lain. Maka keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang.
Konsep hukum dan keadilan ini telah memperoleh jaminan pengakuan dalam UUD Republik Indonesia yaitu Pasal 1 ayat (3) yang mengatur : ”Negara Indonesia adalah negara hukum.” Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan negara hukum merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual. Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan gagasan negara hukum (rechtsstaat) dalam tradisi eropa kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Unsur-unsur yang harus ada dalam rechtsstaat adalah pertama, Pengakuan hak asasi manusia; kedua, pemisahan kekuasaan, ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang; dan keempat, peradilan administrasi. Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam rule of law adalah pertama, supremasi hukum; kedua, persamaan di depan hukum; ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia.
Sebagai tindak lanjut pengaturan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 UUD 1945 mengatur : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian Negara kita meletakkan jaminan bahwa penyelenggaraan peradilan ditujukan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan adanya pengaturan dalam pasal 24 UUD 1945 ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia tidak memisahkan hukum dan keadilan, hukum dan keadilan merupakan tujuan yang ingin dicapai lewat penyelenggaraan peradilan dan menjadi tugas kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan hal tersebut.
Mengenai unsur-unsur yang harus ada dalam negara hukum yang menurut Friedrich Julius Stahl salah satunya adalah adanya peradilan administrasi, maka Indonesia sebagai negara hukum telah mensahkan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang pembentukannya ditujukan untuk menyelesaikan kemungkinan timbulnya benturan kepentingan, perselisilian, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional.

Mengenai kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia diatur dalam Pasal 47 UU PTUN yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili. PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding. Akan tetapi untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU No. 9 tahun 2004 maka PT.TUN merupakan badan peradilan tingkat pertama. Terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya hukum banding melainkan kasasi.
Di Indonesia sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN di Bandung, Semarang dan Padang. Keppres No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN Pontianak, Banjarmasin dan Manado. Keppres No. 16 Tahun 1993 tentang Pembentukan PTUN Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22 Tahun 1994 tentang Pembentukan PTUN Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar. Keppres No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi, Bengkulu, Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk wilayah hukum PTUN Dili, setelah Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk wilayah Republik Indonesia.
peranan PTUN sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap pemerintah telah memberikan kesempatan terhadap seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha Negara untuk dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negaratutan agar Keputusan tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai tata usaha negaratutan ganti rugi dan rehabilitasi.
Berdasarkan laporan tahunan Mahkamah agung Republik Indonesia Tahun 2007 disebutkan dalam periode Tahun 2007 pengadilan tingkat pertama menerima total 3.514.709 perkara, atau naik sebesar 26,11% dari jumlah perkara yang diterima pada tahun 2006 sebesar 2.787.053 perkara. Dari jumlah tersebut, jumlah perkara terbesar adalah perkara yang ada pada Peradilan Umum yaitu sebesar93,6 % dari total perkara pada tingkat pertama di empat lingkungan peradilan dengan catatan bahwa95% diantaranya merupakan perkara pidana cepat, ringan dan lalu lintas. Selanjutnya, porsi kedua danseterusnya diduduki oleh perkara pada peradilan agama sebesar 6,1 %, peradilan militer 0,27 % dan pada peradilan Tata Usaha Negara sebesar 0,03 %.
Dari keseluruhan perkara yang masuk pada pengadilan tingkat pertama tersebut. jumlah perkara yang telah diputus yang hanya sedikit di bawah jumlah perkara masuk yaitu kurang lebih 99,7%. Dengan kondisi ini maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya perkara pada pengadilan tingkat pertama diselesaikan tepat pada waktunya. Dengan rasio pemutusan yang kurang lebih 99,7 % dari total perkara yang masuk, dapat disimpulkan bahwa para pencari keadilan telah memperoleh hak-haknya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
Pada periode 2007, jumlah perkara yang dimintakan banding ke pengadilan banding pada empat yurisdiksi adalah sebanyak 12.408 perkara, atau naik 10,77% dari periode sebelumnya. Porsi ini masih didominasi oleh banding dari peradilan umum sebesar 80 % (9880 Perkara), yang disusul oleh peradilan agama sebesar 13 % (1650 Perkara), pada peradilan Tata Usaha Negara sebesar 5 % (626 Perkara), sedangkan pada peradilan Militer adalah sebesar 2 % (252 Perkara) dari keseluruhan perkara pada tingkat banding. Untuk rasio penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat banding rata-rata mencapai 98,8%dari total perkara yang masuk, dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kinerja yang kurang lebih sama juga terjadi pada pengadilan tingkat banding, tidak ada penumpukan perkara yang berlebihan padapengadilan tingkat banding.
Dari jumlah perkara yang masuk untuk dimintakan banding pada peradilan tata usaha yaitu sebesar 626 perkara menunjukkan bahwa kurang lebih 55% (dari 1067 perkara Tata Usaha Negara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama) baik penggugat maupun tergugat tidak puas dengan putusan pada PTUN dan menempuh jalur banding. Ketidak puasan ini bisa dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah: pertama, ketidakrelaan Pejabat Tata Usaha Negara dengan putusan PTUN yang mengkoreksi keputusan yang telah dibuat pejabat tersebut; kedua, ketidakrelaan penggugat untuk menerima keputusan PTUN yang menyatakan bahwa Putusan TUN yang dibuat oleh Pejabat TUN adalah sah dan tidak melanggar norma hukum maupun asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan.
Pada tahun 2007, Mahkamah Agung menerima total 9.516 perkara, atau turun 0,09% dibandingkan dengan perkara yang masuk pada tahun 2006. Sepanjang tahun 2007, Mahkamah Agung memutus sebanyak 10.714 perkara, dan mengirimkan 10.554 perkara kembali ke pengadilan pengaju. sisa perkara belum putus yang masih harus ditangani oleh Mahkamah Agung sampai tanggal 14 Maret 2008 adalah sebanyak 9.388 perkara. Ini menurun dari sisa awal tahun 2007 yang berjumlah 12.025. Penyelesaian perkara di atas tentunya merupakan pencapaian yang cukup signifikan mengingat jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung RI rata-rata sebanyak 9.200 perkara tiap tahunnya, penyelesaian perkara ini tidak hanya memutus perkara saja akan tetapi meliputi minutasi dan pengiriman berkas perkara ke Pengadilan Pengaju. Hal ini terkait dengan kedudukan Mahkamah Agung sebagai puncak dari kekuasaan kehakiman dimana peradilan tertinggi berada, sehingga menyebabkan sebagian besar upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak bermuara pada Mahkamah Agung.
Meskipun di tahun 2007 dari segi kinerja MA dalam memutus perkara meningkat, namun Tumpukan Perkara di MA per Maret 2008 sebanyak 9.388 tetap saja mengganggu dan dapat berdampak tersanderanya rasa keadilan bagi para pihak yang terkait dengan perkara yang belum diputus tersebut. Karena itu upaya pembatasan perkara perlu dilakukan, walalupun saat ini MA baru melakukan pembatasan perkara terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Dilihat Dari perpektif hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan, sebenarnya pembatasan perkara terutama terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah bukanlah upaya melanggar hak atas keadilan bagi masyarakat justru dilihat dari konsep keadilan menurut hans kelsen sebagaimana penulis uraikan diatas, pembatasan perkara ini lebih ditujukan untuk Keadilan yang paling besar yaitu pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. Karena berdasarkan tabel diatas, permohonan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tinggi (banding) dari semua lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, dari tahun ke tahun menunjukkan pertambahan yang cukup signifikan (jumlahnya mencapai ribuan perkara dari semua lingkungan badan peradilan), hal ini dapat berakibat terhadap menumpuknya permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, yang pada gilirannya dapat menyebabkan setiap permohonan kasasi ke Mahkamah Agung membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang dan lama (3 sampai 5 tahun, bahkan tidak jarang sampai 10 tahun), jika demikian halnya dapat merugikan para pihak pencari keadilan (justicebelen), hal demikian dapat berdampak pada penciptaan kepastian hukum (rechtszekerheid) menjadi barang langka dan mustahil;
Selain itu pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah peraturan perundang-undangan bukanlah pembatasan terhadap upaya untuk memperoleh keadilan karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, telah memberikan keleluasaan dan kebebasan terhadap setiap orang untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan, bahkan pengadilan tidak diperkenankan untuk menolak suatu perkara yang masuk, dengan alasan tidak ada atau kurang jelasnya aturan hukum yang berlaku (vide Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan perkataan lain akses untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan (access to justice) sangat terbuka lebar, tidak terganggu apalagi terhalangi.
Pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah juga bukan upaya meniadakan hak masyarakat untuk memperjuangkan keadilannya karena pada dasarnya terhadap setiap putusan terakhir pengadilan (dari semua lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara) dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi, kecuali undang-undang menentukan lain (vide Pasai 21 ayat (1) dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), yang juga antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama; dan Pasal 335 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Selain itu pembatasan terhadap upaya hukum kasasi terhadap putusan terakhir pengadilan in casu perkara tata usaha negara berupa keputusan pejabat daerah, tidaklah dapat serta merta dianggap sebagai perlakuan yang bersifat diskriminatif sepanjang pembatasan atau pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik (vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Pasal 2 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights); Pembatasan tersebut , menurut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, selain diatur dengan undang-undang, juga pembatasan tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma agama, kesusilaan, ketertiban umum maupun norma hukum yang berlaku.
Dengan demikian ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA, tidaklah menghilangkan, membatasi atau setidak-tidaknya telah menghalang-halangi hak masyarakat untuk melakukan upaya hukum, maupun akses untuk memperoleh keadilan melalui lembaga yudikatif (access to justice), dan ketentuan ini tidaklah menimbulkan perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap pemenuhan untuk mendapatkan kepastian hukum (rechtszekerheid), sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena ketentuan ini justru telah memperkokoh dan memberikan jaminan atas terciptanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dan rasa keadilan dalam masyarakat, sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya yang murah.
Pembatasan perkara yang dapat dimintakan kasasi semata-mata bukanlah hanya terjadi di Indonesia tetapi pembatasan terhadap perkara yang layak untuk dimohonkan kasasi telah merupakan praktik yang lazim di negara-negara hukum yang demokratis, baik yang menganut tradisi common law maupun civil law, baik yang menganut sistem juri maupun sistem non-juri. Pembatasan demikian tidak tepat dianggap sebagai diskriminasi sepanjang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama itu telah diberikan kesempatan untuk mengujinya pada tingkat yang lebih tinggi in casu pengadilan tingkat banding yang berperan baik sebagai judex facti maupun judex juris;
Terkait dengan kemungkinan jika putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon, maka Pemohon masih dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung yang berwenang memperbaiki kekeliruan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan demikian diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.
B. Sinkronisasi pengaturan pembatasan kasasi perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah sebagaimana diatur dalam UU MA dengan perluasan kewenangan PTUN dalam RUU Administrasi Pemerintahan
Seperti telah dibahas dalam bagian sebelumnya, pembatasan kasasi perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah sebagaimana diatur dalam UU MA yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Pembatasan kasasi perkara tata usaha negara ini memiliki keterkaitan dengan keberadaan RUU Administrasi pemerintahan yang saat ini tengah dipersiapkan oleh pemerintah karena perlunya suatu perkara diperiksa dari pengadilan tingkat pertama, tingkat banding hingga ke pengadilan tingkat kasasi akan tidak lagi menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kualitas keputusan Tata Usaha Negara pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding telah mencerminkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang berlaku dalam masyarakat.

Administrasi pemerintahan di Indonesia masih belum optimal menganut prinsip prinsip tata kepemerintahan yang baik karena melewati masa 61 tahun kemerdekaan, Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) yang mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. UU AP ini berlaku menjadi payung bagi semua sektor dan sekaligus menjadi dasar pengujian dalam Peradilan Tata Usaha Negara (sebagaimana telah diatur dalam UU 5 tahun 1986 jo UU 9 tahun 2004).
Jika dapat dipilah maka kebradaan Undang-Undang tentang PTUN memang mengatur secara lebih detil hukum formal (acara) ketimbang hukum materiilnya. Dalam praktik, hakim sering mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum materiilnya tidak diatur dalam Undang-Undang tentang PTUN. Apabila demikian, hakim akan mencari jalan keluar dengan mendasarkan pada pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.karena itu penyusunan RUU AP adalah sebagai solusi atas ketiadaan hokum materiil terkait administrasi pemerintahan.
Kondisi objektif yang menjadi dasar penyusunannya adalah perilaku pejabat pemerintahan (eksekutif) yang dikesankan cenderung diskriminatif, sewenang-wenang dalam menetapkan tindakan dan keputusan, menyalahgunakan kewenangan, serta kurang memperhatikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan. Kondisi obyektif lainnya adalah perjalanan Peradilan TUN selama 20 tahun yang masih memiliki kelemahan antara lain: keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap seringkali tidak dapat dijalankan secara efektif, karena Peradilan TUN tidak memiliki kewenangan eksekutorial dalam perkara Peradilan TUN.
Substansi Pengaturan dalam RUU-AP
UU-AP secara signifikan telah mendorong upaya menjadikan administrasi pemerintahan di Indonesia memenuhi syarat-syarat birokrasi modern. Yakni, pemisahan status antara instansi pemerintah dan instansi negara, pemisahan negara dan pemerintah, netralitas negara dan lembaga negara, serta memperkuat posisi publik bila berhadapan dengan administrasi pemerintahan.
RUU-AP digunakan sebagai dasar hukum bagi pejabat Administrasi Pemerintahan dalam menetapkan tindakan dan keputusan Administrasi Pemerintahan. Dasar hukum tersebut menganut asas-asas umum pemerintahan yang baik dan menjadi norma hukum yang mengikat bagi pejabat administrasi pemerintahan dalam membuat keputusan. Dalam Pasal 2 RUU-AP diatur 20 (dua puluh) asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan dan dinamikan masyarakat. Asas-asas umum pemerintahan wajib dilaksanakan oleh setiap pejabat Administrasi Pemerintahan dalam membuat KeputusanAdministrasi Pemerintahan. Kedua Puluh (20) asas-asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan tersebut adalah :
a. Asas kepastian hukum;
b. Asas keseimbangan;
c. Asas Kesamaan;
d. Asas kecermatan;
e. Asas Motivasi;
f. Asas tidak melampaui dan atau tidak mencampuradukkan kewenangan;
g. Asas bertindak wajar;
h. Asas keadilan;
i. Asas Kewajaran dan kepatutan;
j. Asas menanggapi pengharapan yang wajar atau asas menepati janji;
k. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal atau dibatalkan;
l. Asas perlindungan atas pandangan hidup dan/atau kehidupan pribadi;
m. Asas tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
n. Asas keterbukaan;
o. Asasa proporsionalitas;
p. Asas profesionalitas;
q. Asas akuntabilitas;
r. Asasa kepentingan umum;
s. Asas efisiensi;
t. Asas efektifitas.

RUU AP dan Penguatan PTUN
Meski PTUN saat ini lebih berwibawa dengan kewenangan melakukan upaya paksa, namun UU No 9 Tahun 2004 belum mengatur tahap upaya eksekusi putusan TUN secara paksa. Akibatnya, eksekusi PTUN kerap tertunda sangat lama akibat upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) yang dilakukan pihak tergugat. Bahkan, bila kasus itu dimenangkan penggugat, upaya paksa tidak dapat dilaksanakan dengan mudah. Selain kerap tertunda oleh upaya hukum lebih lanjut, putusan PTUN juga kerap tidak dilaksanakan pejabat TUN karena menilai penerbitan keputusan administrasi pemerintahan (KAP) adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab pribadi pejabat yang menerbitkan KAP. Alasan yang kerap diberikan adalah kebijakan yang ditetapkan pejabat administrasi pemerintahan dilakukan atas nama Negara. Celah tersebut yang akan ditutup dengan RUU Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) yang segera diajukan pemerintah untuk dibahas di DPR. RUU tersebut menegaskan upaya paksa terhadap putusan TUN tidak harus melalui atasan TUN, atau cukup dilaksanakan oleh lembaga TUN yang menerbitkan KAP.
Selain itu, RUU-AP juga menegaskan pejabat yang menerbitkan putusan TUN bertanggung jawab atas penerbitan KAP. Dengan demikian, pejabat pemerintahan dapat dikenai sanksi administratif, ganti rugi, dan upaya paksa oleh peradilan TUN bila tindakan atau keputusannya tidak berdasar asas-asas tata kepemerintahan yang baik.
Selain itu, dalam RUU-AP, hakim tata usaha negara mendapat kewenangan eksekutorial yang menjaminkan kompetensi sangat besar. "RUU-AP juga memberikan kewenangan full execution kepada hakim tata usaha negara yang selama ini tidak ditemukan di UU PTUN.

Beberapa pengaturan dalam RUU AP yang berkaitan dengan penguatan TUN adalah :

1. Keputusan Administrasi Pemerintahan adalah semua keputusan tertulis atau tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal ),dengan demikian Obyek sengketa di PTUN berdasarkan RUU-AP tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 melainkan pula keputusan tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dengan demikian Dalam RUU-AP kewenangan PTUN diperluas;
2. Setiap orang, kelompok masyarakat atau organisasi dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan upaya administrasi ke PTUN (Pasal 39);
3. PTUN hanya mengadili gugatan atas keputusan tata usaha negara yang telah menempuh upaya administratif dan ombudsman (Pasal 39);
4. Pejabat pemerintahan bertanggung jawab dan terikat pada keputusan yang ditetapkan dan tindakan yang dilakukan selama dan setelah masa jabatannya (pasal 42);
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN yang in kracht dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan atau sanksi administrasi (pasal 43);
6. Upaya paksa dilakukan juru sita atas perintah ketua pengadilan (pasal 43);
7. Pembayaran uang paksa dibebankan pada pejabat pemerintahan yang bersangkutan;
8. Perbuatan melanggar hukum administrasi yang sudah didaftar tapi belum selesai diperiksa oleh pengadilan umum dapat dialihkan dan diselesaikan PTUN (pasal 44);
9. Perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap diselesaikan dan diputus pengadilan umum (pasal 44);

Keputusan yang harus melalui upaya administrasi sesuai Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 merupakan kewenangan PT.TUN dengan RUU-AP bukan lagi kewenangan PT.TUN sebagi pengadilan tingkat pertama, melainkan menjadi kewenganan PTUN.
Sinkronisasi UU MA dengan RUU AP
Tujuan dan Lingkup pengaturanTujuan utama penyusunan RUU AP adalah untuk menyeragamkan (menyamakan persepsi) hukum administrasi. Saat ini hukum administrasi di Indonesia sangat beragam, bahkan cenderung sangat sektoral. Oleh karena itu, yang menonjol adalah ego sektoral dari masing-masing instansi. Tujuan lain adalah mensistematisir dan menyederhanakan peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi yang tersebar. Selain itu, tujuan penyusunan RUU ini juga untuk memberikan perlidungan kepada individu dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penguasa.
Menurut penulis beberapa pengaturan dalam RUU AP terutama berkaitan dengan diskresi perlu di sinkronkan dengan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur mengenai pembatasan kasasi, “Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan”. Pasal 25 RUU Administrasi Pemerintahan mengatur :

(1) Pejabat Administrasi Pemerintahan diberikan kewenangan untuk mengambil keputusan yang bersifat diskretif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Batas-batas hukum yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Tidak bertentangan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
c. Wajib menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
d. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
(3)Pejabat Administrasi Pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil.
(4) Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang diskresi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 25 ayat (4) RUU APP telah memperluas kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara yaitu selain menguji keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang menguji keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan. pertanyaannya adalah apakah pengujian keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah dalam akan PTUN mengikuti ketentuan dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur mengenai pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah ataukah dibuka peluang apabila tidak puas menerima putusan PT TUN untuk mengajukan kasasi ke MA.
Terhadap persoalan diatas maka RUU AP seharusnya menyebutkan secara tegas apakah Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah statusnya disamakan dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan daerah yang apabila diuji ke PTUN tidak dapat dimintakan kasasi ke MA ataukah statusnya dibedakan dan dapat dimintakan kasasi ke MA . Apabila melihat maksud diaturnya perihal pembatasan perkara yang dimintakan kasasi ke MA yaitu untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, maka ada baiknya pengujian terhadap Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah hanya sampai tingkat banding saja. Hal ini mengingat beberapa hal; Pertama, pada dasarnya antara keputusan administrasi pemerintahan baik itu keputusan yang tertulis maupun tidak dengan keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah adalah sama-sama putusan yang dibuat oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan, yang membedakannya hanya kondisi dibuatnya keputusan tersebut. Kedua, melihat kecenderungan masyarakat maupun badan atau pejabat pemerintahan yang memiliki budaya hukum rendah dalam menaati, menerima, melaksanakan putusan pengadilan , maka pembatasan terhadap kasasi ini perlu juga dilakukan terhadap pengujian keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah, hal ini juga dilakukan dalam rangka menjamin keberlangsungan proses pembangunan agar putusan hakim segera bisa dilaksanakan.

Kesimpulan
Pembatasan Perkara terhadap Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak membatasi hak masyarakat untuk mencari keadilan, hal ini juga merupakan praktik yang lazim di negara-negara hukum yang demokratis, baik yang menganut tradisi common law maupun civil law, baik yang menganut sistem juri maupun sistem non-juri. MK juga berpendapat pembatasan demikian tidak tepat dianggap sebagai diskriminasi sepanjang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama itu telah diberikan kesempatan untuk mengujinya pada tingkat yang lebih tinggi in casu pengadilan tingkat banding yang berperan baik sebagai judex facti maupun judex juris.
Adanya Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang saat ini tengah disusun telah membawa beberapa hal baru yang positif bagi penguatan peradilan Tata Usaha Negara, diantaranya adalah: (i) Obyek sengketa di PTUN berdasarkan RUU-AP tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 melainkan pula keputusan tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata; ii) PTUN hanya mengadili gugatan atas keputusan tata usaha negara yang telah menempuh upaya administratif dan ombudsman (Pasal 39); (iii) Pejabat pemerintahan bertanggung jawab dan terikat pada keputusan yang ditetapkan dan tindakan yang dilakukan selama dan setelah masa jabatannya (pasal 42); (iv) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN yang in kracht dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan atau sanksi administrasi (pasal 43); (v) Upaya paksa dilakukan juru sita atas perintah ketua pengadilan (pasal 43); (vi) Pembayaran uang paksa dibebankan pada pejabat pemerintahan yang bersangkutan; (vii) Perbuatan melanggar hukum administrasi yang sudah didaftar tapi belum selesai diperiksa oleh pengadilan umum dapat dialihkan dan diselesaikan PTUN (pasal 44); (viii) Perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap diselesaikan dan diputus pengadilan umum (pasal 44).
Ketentuan Pasal 25 ayat (4) RUU APP telah memperluas kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara yaitu selain menguji keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang menguji keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan. pertanyaannya adalah apakah pengujian keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat administrasi pemerintahan daerah dalam akan PTUN mengikuti ketentuan dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA atau tidak. RUU AP seharusnya menyebutkan secara tegas apakah Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah statusnya disamakan dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan daerah yang apabila diuji ke PTUN tidak dapat dimintakan kasasi ke MA ataukah statusnya dibedakan dan dapat dimintakan kasasi ke MA.
Rekomendasi
Merupakan keputuhan mendesak bagi penyusun RUU AP untuk melakukan sinkronisasi antara UU MA dengan RUU AP terutama menyangkut keberadaan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA dengan pengaturan mengenai pengujian diskresi ke PTUN sebagaimana telah diatur dalam Pasal 25 ayat RUU AP. RUU AP seharusnya menyebutkan secara tegas apakah Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan daerah statusnya disamakan dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan daerah yang apabila diuji ke PTUN tidak dapat dimintakan kasasi ke MA ataukah statusnya dibedakan dan dapat dimintakan kasasi ke MA

Kamis, 30 Oktober 2008

ANALISA PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK FEDERAL JERMAN

Setiap negara pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak memiliki satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki aturan-aturan yang tum­buh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan dan para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris. Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu ter­cakup juga pengertian peraturan tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tidak tertulis berupa kebiasaan dan konvensi-konvensi ke­negaraan (ketatanegaraan) yang me­nen­tukan susunan dan kedu­dukan organ-organ negara, meng­atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.

Terbentuknya suatu konstitusi selain terilhami oleh kondisi dan kehendak mayoritas rakyat disuatu negara juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh-pengaruh perkembangan sistem ketatanegaraan dunia pada umumnya, sebagai contoh hak-hak dasar dan sistem demokrasi yang diadopsi dalam konstitusi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perkembangan Hak Asasi Manusia dan demokrasi secara universal. Contoh lainnya adalah diadopsinya lembaga negara baru yaitu Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia (diatur dalam UUD RI 1945) tidaklah benar-benar muncul atas insiatif atau ide murni dari segenap rakyat Indonesia melainkan juga dipengaruhi oleh perkembangan konstitusi negara lain (termasuk Republik Federal jerman) yang juga mengadopsi Mahkamah Konstitusi sebagai bagian materi yang diatur dalam konstitusinya.

Persamaan

a.       Pengakuan, jaminan dan perlindungan hak-hak dasar dalam bab tersendiri

Baik Undang-Undang Republik Federal Jerman  maupun UUD RI 1945 telah menempatkan pengakuan, jaminan dan perlindungan Hak-hak dasar warga negara nya dalam Bab tersendiri. Dalam UUD Republik Federal Jerman tentang Hak-hak dasar (Basic Rights)  warga negara diatur dalam Bab I yang memuat 19 Pasal. Sedangkan dalam UUD RI 1945 tentang Hak Asasi Manusia diatur dalam Bab XA yang memuat 10 Pasal (28A s.d 28J). Konstitusi harus memuat ketentuan-ketentuan tentang pembatasan kekuasaan negara agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dengan demikian sudah tepatlah kiranya apabila perihal hak-hak asasi manusia ini harus diletakkan dalam UUD RI 1945 demi tegaknya HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di wilayah tanaj air dan tanah tumpah darah Indonesia ini.

b.      Pendirian Mahkamah Konstitusi  yang mengawasi penaatan konstitusi

Republik Federal Jerman adalah negara hukum yang demokratis, federal dan sosial. Bersama dengan hak-hak dasar, prinsip-prinsip tersebut merupakan inti undang undang dasar yang tidak dapat diganggu-gugat. Penataannya dijaga oleh Mahkamah Konstitusi Federal.

                Pendirian Mahkamah Konstitusi Federal menandai semangat demokrasi Jerman di masa pascaperang. Undang-undang dasar memberikan hak kepada mahkamah itu untuk membatalkan undang-undang yang pembuatannya mengikuti proses demokratis yang benar, namun menurut penemuan pengadilan tertinggi tersebut melanggar konstitusi. Mahkamah Konstitusi hanya dapat membuka perkara apabila ada pihak yang mengajukan pengaduan kepadanya.

                Dalam UUD RI 1945 mengenai mahkamah konstitusi diatur dalam Pasal 24 ayat  (2) yang menyatakan bahwa ” kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Pasal 24C  ayat (1) UUD RI 1945 menegaskan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.

                Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai spesial tribunal  secara terpisah dari Mahkamah Agung, yang mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelurusi jauh sebelum negara kebangsaan yang modern, yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.  

 

C. Masa Jabatan Presiden dan Impeachment

                Masa jabatan presiden Republik Federal Jerman adalah lima tahun; ia dapat dipilih kembali untuk satu periode lagi. Masa jabatn Presiden Jerman sama dengan masa jabatan Presiden Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUD RI 1945, ” Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

                Dalam UUD Republik Federal Jerman dan UUD RI 1945 sama-sama diatur mengenai mekanisme Impeachment yang melibatkan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 61 UUD Republik Federal Jerman diatur ”Where the Federal Constitutional Court finds the President guilty of a wilful violation of this Constitution or of another federal statute, it may declare him to have forfeited his office. After impeachment, it may issue an interim order preventing the President from exercising his functions”. Sedangkan dalam Pasal 24C ayat (2)  UUD RI 1945 diatur “ Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.

D. Tugas Parlemen

Salah satu Lingkup tugas para anggota parlemen di Bundestag ialah pembuatan undang-undang. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945 disebutkan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

 

Perbedaaan

a. Pengaturan tentang Hak-hak Dasar Warga Negara

Yang khas dari konstitusi Jerman adalah bahwa ia tidak diawali dengan pasal-pasal tentang pemerintah dan pengaturan negara melainkan dengan rakyat dan hak-haknya.  Hal ini berbeda dengan UUD RI 1945 yang justru meletakkan pengaturan tentang pemerintah dan pengaturan negara pada awal –awal pengaturan. Hak-hak asasi manusia baru diletakkan di bagian akhir dari UUD 1945 setelah pengaturan tentang pemerintah dan pengaturan tentang negara.

Pengaturan tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD Jerman lebih lengkap dibandingkan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia dalam UUD RI 1945.

 

 

B.Sistem Politik               

B.1. Partai-Partai Politik

Menurut undang-undang dasar, partai politik bertugas ikut serta dalam pembentukan kemauan politik rakyat. Dengan demikian, penentuan calon penyandang fungsi politik dan pelaksanaan kampanye pemilihan umum ditingkatkan artinya menjadi tugas konstitusional. Karenanya, partai-partai memperoleh penggantian dari negara untuk biaya kampanye pemilihan umum. Penggantian yang baru pertama kali dilaksanakan di Jerman itu, sudah menjadi standar di kebanyakan negara demokrasi. Menurut konstitusi, susunan organisasi partai politik harus sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi (demokrasi melalui anggota). Partai politik wajib bersikap loyal terhadap negara demokrasi.

Partai yang disangsikan pendirian demokratisnya dapat dilarang atas permohonan pemerintah federal. Akan tetapi partai seperti itu tidak harus dilarang. Kalau pemerintah menganggap partai yang bersangkutan harus dilarang karena membahayakan sistem demokratis, pemerintah hanya dapat mengajukan permohonan pelarangan. Putusan pelarangan itu sendiri hanya dapat dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi Federal.

Dalam UUD RI 1945 tidak diatur pasal khusus mengenai tugas dan peranan partai politik dalam negara demokrasi. Tentang Partai politik hanya masuk dalam Bab Tentang Pemilihan Umum. Pasal 22E ayat (3) mengatur, ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.

B.2. Parlemen

                Parlemen Federal Jerman atau Bundestag adalah perwakilan rakyat Jerman yang dipilih. Secara teknis, separuh dari ke-598 kursi di Bundestag ditentukan melalui pemilihan daftar calon yang disusun oleh partai pada tingkat negara bagian (suara kedua), selebihnya melalui pemilihan orang-orang yang mencalonkan diri di salah satu dari ke- 299 distrik pemilihan (suara pertama). Bundestag bertugas memilih kanselir federal, lalu bertugas menjaga agar kanselir tetap memegang pimpinan pemerintah dengan mendukung politiknya. Bundestag dapat menggantikan kanselir dengan jalan mencabut kepercayaan. Lingkup tugas besar kedua para anggota parlemen di Bundestag ialah pembuatan undang-undang. Tugas besar ketiga Bundestag ialah pengawasan pekerjaan pemerintah.

                Berbeda dengan UUD Republik Federal Jerman, UUD RI 1945 hanya memuat ketentuan secara umum tentang tugas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasal 20 ayat (1) mengatur Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ketentuan lebih lanjut tentang susunan dan tata cara mengisi susunan dalam DPR diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

 

B.3. Senat atau Lembaga Perwakilan Daerah.   

                Bundesrat atau Majelis Federal adalah dewan perwakilan negara bagian, semacam majelis kedua di samping Bundestag. Setiap rancangan undang-undang federal harus dibicarakan di Bundesrat. Sebagai majelis negara bagian, Bundesrat memegang fungsi yang sama seperti majelis kedua di negara federasi lain, yang umumnya disebut senat. Bundesrat beranggotakan wakil-wakil pemerintah negara bagian saja. Bundesrat beranggotakan wakil-wakil pemerintah negara bagian saja. Bobot suara masing-masing negara bagian diatur dengan cara sangat moderat menurut jumlah penduduk: minimal tiga suara, maksimal enam suara.

                Bundesrat ikut serta dalam pembuatan undang-undang federasi. Dalam aspek ini, Bundesrat berbeda dengan lembaga majelis kedua di negara-negara federasi lain. Konstitusi menggariskan dua cara partisipasi. Undang-undang federasi yang akan mengakibatkan biaya tambahan dalam administrasi negara bagian, atau yang menggantikan undang-undang negara bagian yang ada, harus memperoleh persetujuan Bundesrat. Artinya, undang-undang yang sudah ditetapkan oleh Bundestag baru akan berlaku setelah disetujui oleh Bundesrat. Dalam hal ini Bundesrat sebagai badan legislatif berstatus sederajat dengan Bundestag.

                Senat atau Bundesrat di Jerman ini untuk konteks Indonesia diberi  Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dilihat dari fungsi, kekuasaan dan jumlah anggotanya antara Bundesrat Jerman  dengan DPD di Indonesia memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam Pasal 22C ayat (2)  UUD RI 1945 disebutkan, ”Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.

Mengenai kewenangan Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Pasal 22d ayat (1), yaitu ”Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

                DPR dalam  membentuk undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah tidak harus meminta persetujuan DPD, hal ini dikarenakan UUD RI tahun 1945 tidak mengatur mengenai hal tersebut. Pasal 22D ayat (2) hanya mengatur,  ”Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.

 

C. Presiden dan  Kanselir Federal

Presiden federal mewakili Republik Federal Jerman sebagai kepala negara. Ia mewakili Jerman di dunia luar dan mengangkat anggota pemerintah, hakim dan pejabat tinggi. Tanda tangannya membuat undang-undang mulai berlaku. Presiden memberhentikan pemerintah dan berwenang membubarkan parlemen sebelum habis masa legislasinya, suatu perkecualian yang sempat terjadi pada pertengahan tahun 2005. Hak veto terhadap undang-undang yang diputuskan badan legislatif, seperti yang dimiliki oleh presiden Amerika Serikat atau presiden beberapa negara lain, tidak diberikan kepada presiden federal oleh konstitusi. Presiden federal memang mengkonfirmasikan keputusan parlemen dan usulan pemerintah di bidang personalia, namun ia hanya memeriksa apakah proses pembuatannya sesuai atau tidak dengan peraturan undang-undang dasar.

Masa jabatan presiden federal adalah lima tahun; ia dapat dipilih kembali untuk satu periode lagi. Kepala negara dipilih oleh Dewan Federal. Dewan itu terdiri dari semua anggota Bundestag, ditambah jumlah anggota yang sama yang dipilih oleh dewan perwakilan rakyat di ke-16 negara bagian.

                Berbeda dengan Presiden Republik Federal Jerman yang menetapkan presiden hanya sebagai kepala negara, UUD RI 1945 menetapkan bahwa Presiden RI selain sebagai kepala negara juga menjabat sebagai kepala pemerintahan.Pasal 4 ayat (1) UUD RI 1945 menyebutkan, ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Presiden Republik Indonesia tidak berwenang untuk membubarkan parlemen seperti Presiden Federal di Jerman, pasal 7C UUD RI 1945 mengatur bahwa presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

                Presiden Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD RI 1945 yang menyatakan bahwa ” Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.

 

D. Kekuasaan Kehakiman

Republik Federal Jerman adalah negara hukum yang menjamin ketegakan hukum, perlindungan hak-hak kebebasan, dan kesamaan di hadapan hukum. Dalam hubungan ini undang-undang dasar mempunyai andil besar, sebab prinsip-prinsip tata laksana negara hukum bersifat konstitusional. Pemeliharaan hak-hak tersebut diawasi oleh pengadilan tertinggi, Mahkamah Konstitusi Federal. Pelaksanaan hukum di Jerman diatur dalam lima bidang: peradilan umum, ketenagakerjaan, administrasi negara, sosial dan keuangan.

Lingkungan peradilan di Indonesia berbeda dengan di Jerman. Di Indonesia lingkungan peradilan menurut Pasal 24 ayat  (2) UUD RI 1945 terdiri dari lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.

Kesimpulan

Perbedaan yang signifikan antara UUD Republik Federal Jerman dengan UUD RI 1945 adalah terletak pada luas dan jumlah materi yang diatur. Dibandingkan dengan UUD RI 1945, UUD Jerman lebih rinci dan lengkap mengatur hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan negara seperti hak-hak dasar, sistem pemilihan (pemilu), parlemen, senat . UUD RI 1945 lebih banyak memerintahkan pengaturan lebihlanjut hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan negara dalam peraturan dibawah UUD yaitu melalui undang-undang.

 

Rabu, 22 Oktober 2008

Perlunya Analisis Dampak Regulasi (Regulatory Impact Assesment) dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia

Kondisi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, harmonis, dan mudah diterapkan dalam masyarakat. Di Indonesia masih terdapat permasalahan dalam hal kualitas peraturan perundang-undangan, permasalahan tersebut meliputi, peraturan perundang-undangan yang dibentuk ternyata sulit untuk diimplementasikan; Peraturan perundang-undangan yang ada masih banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih rendah dengan peraturan di atasnya. Inventarisasi yang dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menemukan hanya 14,8 persen, dari sebanyak 709 perda yang diteliti, secara umum tidak bermasalah. Sisanya, sebesar 85,2 persen perda yang dibuat oleh 134 daerah tingkat II merupakan perda-perda yang bermasalah. Masalah terbesar pada perda-perda bermasalah tersebut antara lain terkait dengan prosedur, standar waktu, biaya, tarif, dan lainnya dengan persentase sebesar 22,7 persen, dan permasalahan acuan yuridis yang tidak disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat dengan persentase sebesar 15,7 persen; dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk masih banyak yang tidak merefleksikan keadilan, kesetaraan, perlindungan hak asasi manusia. 
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada Tahun 2006, dari sekitar 6000 Perda yang ada dalam catatan pemerintah pusat (atau 13.520 Perda jika mengikuti versi Departemen Keuangan) 60% lebih Perda yang diterbitkan dinilai bermasalah serta distortif/kontra produktif terhadap aktivitas perekonomian, terutama kegiatan investasi di daerah yang membingungkan dan memberatkan investor. Selain itu, dalam catatan Pemerintah, sepanjang tahun 2007 pemerintah telah melakukan pembatalan terhadap 763 perda bermasalah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 juga diuraikan Permasalahan dan tantangan pembangunan dua diantaranya adalah masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia; serta banyaknya peraturan perundang undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
Proses pembuatan peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun daerah saat ini ditandai dengan lemahnya analisis, belum adanya mekanisme review yang efektif, dan terbatasnya partisipasi publik. Karena dibuat tanpa melalui suatu proses analisis dampak regulasi maka seringkali isi peraturan perundang-undangan tidak mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dari obyek yang diatur, keseimbangan antara hak individual dan hak sosial, atau tidak mempertimbangkan pluralisme dalam berbagai hal, serta menghambat iklim investasi dan pada gilirannya menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dampak Peraturan Perundang-undangan atas Pembangunan Nasional
Krisis ekonomi tahun 1997/98 telah memberikan pelajaran yang sangat mahal namun berharga bagi bangsa Indonesia. Krisis telah memaksa Indonesia melakukan perubahan yang perlu dalam rangka koreksi kelemahan dan kesalahan masa lalu. Ekonomi, politik, sosial dan hukum mengalami transformasi dan reformasi menuju kepada suatu sistem baru yang diharapkan akan lebih berkeadilan, handal, dan berkelanjutan. Meskipun demikian, transformasi dan reformasi yang telah menghasilkan berbagai perubahan tersebut masih belum mencapai hasil yang memuaskan. Salah satu transformasi dan reformasi yang belum memuaskan adalah reformasi di bidang peraturan perundang-undangan, sampai saat ini masih banyak ditemui peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia serta masih besarnya tumpang tindih peraturan perundangan di tingkat pusat dan daerah yang menghambat iklim usaha dan pada gilirannya menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat. 
Dalam Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium atau Millennium Development Goals (MDGs) Indonesia tahun 2007 disebutkan bahwa tantangan utama dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia adalah menjaga kegiatan ekonomi nasional yang pro rakyat agar dapat mendorong turunnya angka kemiskinan. Termasuk di dalamnya ialah menjaga kondisi ekonomi makro agar dapat mendorong kegiatan ekonomi riil yang berpihak pada penanggulangan kemiskinan, untuk mengatasi tantangan ini maka penanggulangan kemiskinan di Indonesia akan dititikberatkan pada upaya mendorong pertumbuhan yang berkualitas. Untuk mendorong pertumbuhan yang berkualitas maka dibutuhkan iklim investasi yang baik, hal ini dikarenakan lklim investasi yang baik memberikan kesempatan dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas kegiatan usaha. Investasi memainkan peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Memperbaiki iklim investasi adalah masalah kritikal yang dihadapi pemerintah di negara berkembang. Untuk medorong iklim investasi yang baik sangat berkaitan dengan kondisi regulasi di suatu Negara.
berikut ini pengaruh-pengaruh yang dihasilkan dari adanya regulasi yang buruk terhadap pembangunan nasional:
a. Regulasi yang buruk menciptakan iklim bisnis yang tidak kondusif dan menurunkan daya saing: 
Salah satu hambatan dalam mendorong penciptaan lapangan kerja adalah kurang kondusifnya iklim investasi di Indonesia yang diakibatkan tiadanya kepastian peraturan perundang-undangan. Hasil survey bank dunia menyimpulkan, regulasi di negara-negara anggota organisasi pembangunan dan kerjasama ekonomi (OECD) dipandang sebagai kendala terbesar dalam menjalankan bisnis atau penghambat dalam pengembangan investasi, karena menghambat inovasi, perdagangan dan investasi serta membebani dunia usaha. Dalam kaitan dengan kemudahan berusaha perlu disimak proyek doing business 2009 yang dilaksanakan oleh Internasional Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia. Proyek ini mengukur secara obyektif regulasi bisnis dan penegakannya di 178 negara. Hasilnya menunjukkan gambaran yang tidak menggembirakan bagi Indonesia khususnya dalam hal kemudahan berusaha. Dalam laporan proyek tersebut Peringkat berbisnis di Indonesia melorot dari peringkat 127 ke urutan 129. Menurut Asosiasi pengusaha Indonesia faktor- faktor yang menyebabkan turunnya peringkat berbisnis Indonesia adalah adanya aturan-aturan yang masih overlapping satu sama lain dan ekonomi biaya tinggi.
b. Regulasi yang buruk membuka peluang terjadinya praktek korupsi:
Praktek tindak pidana korupsi merupakan salah satu penghambat tercapainya tujuan pembangunan nasional. Dalam beberapa kasus diketahui salah satu penyebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah adanya penafsiran yang keliru terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan. Seringkali para pelaku tindak pidana korupsi memanfaatkan kelemahan yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk melegitimasi tindakannya.
c. Regulasi yang buruk menutup akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan: 
Dampak dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang dianggap bermasalah terutama di daerah adalah tertutupnya peluang masyarakat untuk mendapatkan pelayanan umum yang berkualitas dari pemerintah dan hal itu berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam banyak kasus, banyak regulasi yang tidak memberikan kesempatan sama kepada masyarakat untuk mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya (regulasi yang bersifat diskriminatif). Selain itu banyak regulasi yang berorientasi kepada pembebanan pungutan pada masyarakatnya dalam bentuk berbagai retribusi
Tantangan Perbaikan Kualitas Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa, perbaikan regulasi dapat meningkatkan investasi asing, sebagai bahan perbandingan kita dapat melihat pada Vietnam yang telah melakukan reformasi regulasi terutama di bidang investasi dalam rangka mempercepat perkembangan investasi asing. Berbagai laporan internasional menunjukkan hal tersebut, diantaranya adalah: Laporan UNDP, GTZ dan PMRC tentang “Improving The Quality of Business Law: A Quikscan of Vietnam,s Capacities&Introduction of Internasional Best Practices” yang menyatakan : “ in the past of two decades, vietnam experienced remarkable economic performance propelled by the private sector and foreign direct investmen. New private business are currently being established at the rate of 1,600 per month. According the ministry of planning and Investmen. Inflows of FDI to US$ 4,2 billion in 2004 (a 35% increase over 2003) and will probably exceed $US 5 Billion in 2005”…” Regulatory reform is a key component of the structural reform needed to support longer term economic growth in vietnam…” 
Beberapa tantangan dalam memperbaiki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah:
a. belum adanya alat analisis yang membantu pemerintah untuk memutuskan apakah suatu regulasi sungguh-sungguh diperlukan, apa saja untung ruginya dan apa saja solusi-solusi alternatif bagi regulasi tersebut;
b. belum adanya model konsep kelembagaan good regulatory management (salah satu nya bisa dengan pola atau model penyusunan kebijakan berupa Regulatory Impact Assessment) yang dapat digunakan dalam manajemen pembentukan peraturan perundang-undangan di pusat maupun daerah yang diharapkan mampu menjembatani kesenjangan implementasi UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan praktek regulasi;
c. belum adanya mekanisme yang menjamin keterlibatan publik (pengusaha, civil society) secara penuh, untuk terlibat dalam proses penilaian keuntungan atau kerugian serta dampak dari suatu peraturan perundang-undangan yang apabila diimplementasikan akan sangat berkaitan dengan kepentingan mereka. Selama ini keterlibatan publik hanya terbatas pada saat pembahasan suatu rancangan peraturan dan publik tidak dilibatkan untuk memutuskan apakah suatu regulasi sungguh-sungguh diperlukan.

Selasa, 21 Oktober 2008

ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Latar Belakang

Pembaharuan hukum pidana nasional pada dasarnya merupakan bagian dari pembaharuan terhadap substansi (materi hukum nasional), menurut Satya Arinanto, Salah satu permasalahan mendasar yang sering diwacanakan dalam era reformasi ini adalah mengenai aspek hukum. Aspek hukum yang dimaksudkan disini mencakup berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi tiga (3) anasir sebagai berikut: (1) structure (tatanan kelembagaan)dan kinerja lembaga); Substance (materi hukum); dan legal culture (budaya hukum).Dalam konteks substansi hukum, terdapat beberapa permasalahan yang mengemuka antara lain sebagai berikut: terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan dan implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksananya.
Rancangan Undang-undang (RUU) Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini draftnya masih dibahas di Departemen Hukum dan HAM menunai banyak kritikan. Kritik yang utama adalah RUU ini dianggap ”over criminalization”. Sejumlah delik baru dan delik-delik yang tersebar dalam sebagian besar UU yang mencantumkan tindak pidana dimasukkan dalam RUU KUHP ini. Akibatnya RUU menjadi sangat luas dari sisi jumlah pasalnya maupun cakupan permasalahan yang dipidanakan. Draft RUU KUHP ini terdiri dari 741 pasal yang dibagi dalam 36 Bab. Selain sangat luas, RUU KUHP memasukkan kejahatan dengan karakteristik khusus baik dari segi materi hukum pidananya maupun hukum acaranya. Hal ini diprediksikan berakibat tidak akan efektifnya penerapan RUU KUHP terhadap beberapa jenis kejahatan yang berkarakter khusus tersebut. 

Salah satu kejahatan yang akan dimasukkan dalam RUU KUHP adalah tindak pidana hak asasi manusia yang meliputi tindak pidana genosida, tindak pidana terhadap kemanusiaan, tindak pidana dalam masa perang atau konflik bersenjata dan tindak pidana penyiksaan. Tindak pidana tersebut tertera pada Bab IX Pasal 394-404 RUU KUHP. 
Kejahatan-kejahatan tersebut dalam perkembangan hukum pidana internasional merupakan kejahatan khusus yang dikategorikan sebagai ” gross violation of human rights”, bahkan Statuta Roma 1998 menyebut kejahatan ini sebagai kejahatan yang paling serius (the most serius crime). Beberapa tindak pidana tersebut merupakan jenis kejahatan yang telah diatur pula dalam berbagai konvensi internasional misalnya konvensi tentang pencegahan dan penghukuman genosida 1949, konvensi anti penyiksaan dan jenis-jenis kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Statuta Roma 1998, berbagai pengadilan internasional telah digelar untuk mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. 
Selain tindak pidana hak asasi manusia dalam RUU KUHP ini juga dimasukkan beberapa tindak pidana yang juga memiliki keterkaitan erat dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia seperti, tindak pidana informasi rahasia, kejahatan perkosaan, kejahatan terhadap agama, keyakinan, dan aliran kepercayaan, kebebasan pers, tindak pidana pornografi dan pornoaksi, proteksi negara, tindak pidana lingkungan

Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka muncul permasalahan berkaitan dengan aspek perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, permasalahan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: Pertama, apakah penyusunan RKUHP telah memasukkan unsur perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai pertimbangan penyusunannya. Kedua, Bab-Bab mana apa saja dalam RKUHP yang potensial melanggar Hak Asasi Manusia

Pembahasan
Berkaitan dengan wacana HAM di Indonesia maka dapat kita lihat dari perspektif historis. Jika kita melakukan peninjauan historis terhadap proses pembentukan negara Republik Indonesia (RI) pada tahun 1945, akan tampak bahwa masalah HAM telah mendapatkan perhatian-dan bahkan menjadi bahan perdebatan yang serius. Rapat besar Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ( Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPK) yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juli 1945 misalnya menyipan memori perdebatan founding fathers tentang perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD, yang kemudian hari kita kenal sebagai UUD 1945.Dari perdebatan dalam BPUKI akhirnya disepakati bahwa tentang HAM pengaturannya dimasukkan dalam UUD 1945 yaitu dalam pasal 27 ayat (1) : “ Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ayat (2) menyatakan: “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, Pasal 28 : “ Kemerdekaann berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, Pasal 29 ayat (2) :“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, Pasal 30 ayat (1) :” tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara”, Pasal 31 ayat (1) : “ Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”, dan pasal 34 : “ Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”.
Pasca perubahan UUD 1945 tahun 2002 secara yuridis perlindungan HAM semakin mendapatkan tempat, hal ini dikarenakan dalam UUD 1945 pasca perubahan dicantumkan lebih banyak pasal-pasal yang secara khusus mengatur mengenai HAM. UUD 1945 setelah perubahan mengatur permasalahan jaminan HAM dalam bab tersendiri yaitu Bab XA.Isi Bab tersebut memperluas Pasal 28 UUD 1945 yang semula hanya terdiri dari satu pasal dan 1 ayat, menjadi beberapa pasal dan beberapa ayat. Pasal-pasal dan ayat tersebut tercantum dalam pasal 28A hingga pasal 28J.
RKUHP dimaksudkan untuk menggantikan KUHP yang lama, yang sudah berlaku selama lebih dari seratus tahun sejak 1886 di negeri belanda dan kemudian berlaku di Indonesia berdasarkan asas konkordansi (penyamaan dengan sistem hukum induknya), meskipun saat itu baru dikenakan untuk golongan eropa saja. Disamping tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama karena isinya yang sangat dipengaruhi situasi politik pada masa kolonial belanda, materi KUHP juga melanggar sejumlah hak asasi manusia berkaitan dengan kehidupan demokrasi, kependudukan, hak-hak sipil dan perlindungan hak-hak pribadi (misalnya mengenai pembatasan unjuk rasa melalui politik perijinan, larangan mengenakan alat-alat pencegah kehamilan, pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara sekalipun dengan kritik yang terbilang halus, dan juga adanya pengekangan terhadap kebebasan memilih dan menjalankan ibadah berdasarkan kepercayaan.
Menurut Mardjono Reksodipuro, konsep-konsep awal RKUHP yang diajukan pada tahun 1993 telah memperhatikan perlindungan terhadap Hak Asasi Warga masyarakat dengan didukung oleh tiga prinsip yaitu :
a. Hukum pidana (juga) dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar ( fundamental sosial values) perilaku hidup masyarakat (dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi negara pancasila);
b. Hukum pidana (sedapat mungkin) hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain untuk melakukan pengendalian sosial (social control) tidak (belum) dapat diharapkan keefektifannya; dan
c. Hukum pidana (yang telah dipergunakan kedua pembatasan, a dan b diatas), harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin dari potensi mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektivitas dalam masyarakat demokratis yang modern. 

Kesimpulan
Dari rumusan RKUHP terutama yang berkaitan dengan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia ternyata ditemui banyak kelemahan, dimana kelemahan tersebut berpotensi melanggar perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.Dalam RKUHP BAB tentang Tindak Pidana Hak Asasi Manusia ditemui beberapa kelemahan seperti: Pertama, pengaturan atau rumusan yang dimasukkan tidak memadai, baik karena tidak lengkap dan hanya mencomot bagian-bagian tertentu dari norma-norma internasional, maupun karena penterjemahan yang tidak baik sehingga istilah yang digunakan tidak tepat. Kedua,ada banyak istilah-istilah yang digunakan tidak dijelaskan secara baik atau tidak ada penjelasannya.
Sementara itu berkaitan dengan pengaturan tentang kebebasan pers dalam RKUHP juga ditemui banyak pasal dalam RKUHP yang berpotensi melanggar HAM di bidang kebebasan individu menyampaikan pendapat.Gejala ”Over Criminalization” ini terlihat sangat jelas dalam delik pers. Banyak perilaku yang dilihat dari sifatnya merupakan bagian dari kebebasan individu, kemudian diatur dalam hukum pidana. Bagi jurnalis, pasal-pasal dalam RKUHP bisa menghalangi dan menyulitkan kerja wartawan.disamping itu RKUHP juga mengatur masalah agama yang menjadi domain dari kebebasan individu.
Secara garis besar RKUHP hanya mengulang dan memperkuat KUHP lama yang sampai saat ini masih berlaku di Indonesia karena nyaris tidak ada perubahan yang sigifikan dalam RKUHP tersebut, terutama dari sisi paradigma. Alasan yang dipergunakan penyusun RKUHP masih harus diuji apakah hanya sekedar jargon atau ataukah memang dilandasi oleh dasar pemikiran yang kuat untuk menjawab kebutuhan masa sekarang dan masa yang akan datang terutama menyangkut penghormatan, pemenuhan, perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia, kebebasan dasar dan nilai-nilai demokrasi. 
Dari tinjauan menyeluruh terhadap RKUHP, terlihat bahwa semangat pembaharuan RKUHP tidak diletakkan dalam kerangka politik yang telah berubah, yang seharusnya mengarah ke sisitem demokrasi. RKUHP masih menunjukkan masih menunjukkan cara berpikir warisan sistem otoriter, dimana upaya untuk mengendalikan kebebasan warga negaranya masih terasa sangat kuat. Karenanya,alih-alih mendemokratiskan hukum pidana dan hak asasi manusia, politik kriminal yang terkandung dalam RKUHP justru mengancam kebebasan dasar dan hak asasi manusia.

Analisis Terhadap Kedudukan Peraturan Daerah Sebagai Salah Satu Produk Hukum Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Latar belakang

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dirubah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pengertian desentralisasi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengandung beberapa elemen yang penting, pertama, elemen penyerahan wewenang baik wewenang mengatur maupun wewenang mengurus. Dalam hukum publik wewenang terdiri atas hak dan kewajiban. Kedua elemen tersebut merupakan substansi otonomi daerah. 
Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional,regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas,nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan,serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasi masyarakat dan mengundang keterlibatan publik seluas-luasnya dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan yang dijalankan. Untuk itu, desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk secara demokratis mengatur pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi dari cita-cita sistem desentralisasi. Tetapi, pelaksanaan sistem ini mendapatkan tantangan yang cukup besar. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah (1) mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang belum berubah; (2) hubungan antara institusi pusat dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset dan adanya semacam gejala powershift syndrom yang menghinggapi aparat pemerintah; dan (5). pemerintahan daerah dalam rangka membentuk peraturan daerah, melangkah terlalu jauh dengan tidak mengindahkan peraturan perundangan diatasnya.
Berkaitan dengan permasalahan kelima dapat dikatakan merupakan permasalahan klasik yang senantiasa mengiringi pelaksanakan otonomi daerah apalagi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, banyak pihak yang menilai bahwa Pelaksanaan otonomi daerah (otda) atau desentralisasi di Indonesia sudah ‘kebablasan’. Spirit kebebasan yang terkandung dalam konsep otonomi daerah ternyata justru seringkali disimpangi oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. 
Sebagai gambaran, misalnya, tahun 2001 lalu Departemen Keuangan telah mengidentifikasi adanya 80 Perda bermasalah yang berkaitan dengan sektor bisnis. Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), pada tahun yang sama menemukan 1006 Perda bermasalah walaupun setelah dikaji oleh Depdagri hanya 105 Perda yang benar-benar bermasalah.Belakangan, Perda bermasalah ternyata tidak hanya Perda yang terkait dengan sektor bisnis tetapi juga seputar hubungan antar warga masyarakat. Contoh paling mutakhir adalah terbitnya Perda No. 8/2005 tentang Larangan Pelacuran. Perda yang diterbitkan Pemerintah Kota Tangerang ini mengundang banyak kecaman dari sejumlah kalangan, khususnya perempuan.
 
Pembahasan
Dalam konsep otonomi daerah maupun daerah otonom terkandung wewenang (fungsi) mengatur dan mengurus. Istilah mengatur dan mengurus berasal dari istilah teknis hukum (yuridis) hindia belanda yang disebut regeend dan bestuur. Dari segi hukum, mengatur berarti perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku umum dan biasanya bersifat abstrak (tidak mengenai hal dan keadaan yang konkret), sedangkan mengurus berarti perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku individual dan bersifat konkret. Secara materiil, mengurus dapat berupa memberikan pelayanan kepada orang atau badan tertentu dan/atau melakukan pembangunan proyek-proyek tertentu (secara konkret dan kasustik), dalam tulisan ini pengertian mengurus dibatasi pada pengertian hukum saja. Untuk melaksanakan penyelenggaraan otonomi daerah maka pemerintahan daerah provinsi maupun kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk membentuk peraturan daerah. Peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. 
Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) tidak mengatur atau menetapkan tentang jenis peraturan perundang-undangan yang disebut Peraturan Daerah. Dalam Pasal 18 UUD 1945 hanya dirumuskan bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. 
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945 tersebut dibentuklah berbagai undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang mengatur juga di dalamnya tentang kewenangan Pemerintah Daerah untuk membentuk dan menetapkan Peraturan Daerah, dengan demikian kewenangan pembentukan suatu Peraturan Daerah merupakan kewenangan atribusi yang berasal dari undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, khususnya pasal 38, yang menyatakan bahwa Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah menetapkan Peraturan Daerah2. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga dirumuskan dalam Pasal 69 bahwa, “Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut Dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. 
Setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat melakukan Perubahan yang Kedua terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang Paripurna yang diselenggarakan pada tanggal 18 Agustus 2000, rumusan Pasal 18 UUD 1945 yang lama kemudian diubah menjadi 7 (tujuh) ayat, dan pengaturan tentang Peraturan Daerah tertuang secara tegas dalam Pasal 18 ayat (6) yang menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. 
Kedudukan peraturan daerah yang secara resmi diatur dalam pasal 18 ayat (6) Undan-Undang Dasar 1945 Pasal 6 yang menentukan “ Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Mirip dengan penyebutan suatu istilah “ suatu komisi pemilihan umum dalam pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dan “suatu bank sentral” dalam pasal 23D UUD 1945, Penulisan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain dalam pasal 18 ayat (6) UUD 1945 tidak menggunakan huruf besar, artinya “ Peraturan daerah yang dimaksud oleh UUD 1945 itu bukanlah mutlak harus dijadikan nama resmi dari penyebutan baku untuk pengertian peraturan daerah tersebut. Pemberian nama resmi atau penyebutan baku untuk pengertian “ peraturan daerah”, “bank sentral”,dan komisi pemilihan umum itu diserahkan kepada undang-undang untuk menentukannya. Meskipun sekarang undang-undang telah menentukan nama atau sebutan resminya adalah Komisi Pemilihan Umum untuk “komisi pemilihan umum” dan Peraturan Daerah untuk peraturan daerah”, tetapi UUD 1945 sama sekali tidak melarang atau menyalahkan apabila ketiganya disebut dengan nama lain, seperti halnya Bank Indonesia untuk nama “ bank sentral”. Sekarang sebutan resmi untuk peraturan daerajh juga sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan daerah. 
Menurut ketentuan pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, peraturan daerah itu jelas merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang. Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan itu ditentukan sebagai berikut: 
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Dalam Pasal 7 ayat (2)-nya ditentukan pula bahwa peraturan daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan Gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. 
Eksistensi Peraturan Daerah telah diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang undangan yang berlaku dan mengikat umum, bahkan Peraturan daerah selalu diakui keberadaannya di dalam Sistem Hukum di Indonesia. Pengakuan tersebut dapat dilihat dari beberapa pendapat ahli sebagai berikut :
a. Irawan Soejito menyatakan bahwa salah satu kewenangan yang sangat penting dari suatu Daerah yang berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ialah kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah. 
b. Amiroeddin Syarif menyatakan bahwa Peraturan daerah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, yaitu mengatur segala sesuatunya tentang penyelanggaraan pemerintahan, pembangunan serta pelayanan terhadap masyarakat. 
c. Bagir Manan menyatakan bahwa Peraturan daerah adalah nama peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang ditetapkan Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah membentuk Peraturan daerah merupakan salah satu ciri yang menunjukkan bahwa pemerintah tingkat daerah tersebut adalah satuan pemerintahan otonom – berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. 
d. A. Hamid S Attamimi menyatakan bahwa dalam tata susunan peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia, Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang terletak dibawah peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat (dalam hal ini kedudukannya di bawah Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen). 
Dari segi fungsinya, Peraturan Daerah Provinsi adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat provinsi dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 13 ( tugas pembantuan ) dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP. No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi (Vide Pasal 3 PP No. 25/2000). Disamping itu fungsi Peraturan Daerah Provinsi juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Provinsi dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan perhitungan APBD dan pengolahan keuangan daerah Provinsi sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antar pemerintah pusat dan daerah. 
Fungsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah sepenuhnya di tingkat Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 dan Pasal 13 UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 25 Tahun 2000 (Vide Pasal 3 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) melalui teori residu. Fungsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Kabupaten/Kota dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah. Kabupaten/kota sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Dan Daerah. 
Peraturan Daerah menurut Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas Peraturan Daerah menempati jenjang rendah, karena itu Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dengan nada yang lebih tegas, menurut Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bertentangan dengan kepentingan umum dalam ketentuan diatas ialah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menurut Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dibatalkan oleh Pemerintah. 
Keputusan pembatalan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah tersebut. Selain itu Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menetapkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menyatakan ketidaksahan peraturan perundang-undangan dibawah undang undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. 
Ketentuan tersebut di atas merupakan mekanisme kontrol dalam rangka menjaga keserasian Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebab peraturan daerah merupakan salah satu sub sistem dalam sistem peraturan perundang-undangan dalam Negara RI. Oleh karena itu Peraturan Daerah harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Artinya Peraturan Daerah sebagai instrument penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan selain harus mampu menampung kondisi khusus atau ciri khas masing-masing daerah juga harus ditempatkan dalam konteks penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain Peraturan Daerah ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Prof. MR. Paul Scholten antara lain mengemukakan: “Dan dari kesatuan hukum itu muncul, bahwa aturan-anturan harus memperhatikan homogenitas logical, yang menyebabkan menata diri ke dalam suatu sistem”. Lebih lanjut dikemukakan: “Tiap aturan hukum hanya berlaku dalam konteks interaksi dengan aturan-aturan hukum yang lain”. Kemudian dikatakannya bahwa hal ini hanya mungkin, jika aturan-aturan itu secara logical berada dalam saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, mewujudkan satu kesatuan, jadi jika mereka mewujudkan sebuah sistem. 

Dari segi materimuatan, Perda adalah peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Perda secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya. Dalam pendekatan Stufenbau des Recht yang diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori tersebutlah kemudian dalam ilmu hukum turun menjadi asas “lex superior derogate legis inferiori.” 
Dalam nalar lain, Perda dianggap sebagai peraturan yang paling dekat untuk mengagregasi nilai nilai masyarakat di daerah. Peluang ini terbuka karena Perda dapat dimuati dengan nila-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Oleh karena itulah banyak Perda yang materimuatannya mengatur tentang pemerintahan terendah yang bercorak lokal seperti Nagari di Sumatera Barat, Kampong di Aceh, atau yang terkait pengelolaan sumberdaya alam seperti Perda pengelolaan hutan berbasis masyarakat, hutan rakyat, pertambangan rakyat dan lain sebagainya.
Disamping itu, posisi Perda yang terbuka acap juga menjadi instrumen pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Perda pajak daerah atau Perda retribusi daerah. Perda jenis terakhir inilah yang paling mendominasi jumlah Perda sepanjang otonomi daerah yang bergulir sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelengaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta pengaturan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), beberapa pasal menyebut mengenai materi muatan Perda. Pasal 10 menentukan bahwa: (1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang- Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-seluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal nasional; dan f. Agama. (4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa. (5) Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah, di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat: a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; dan c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. 
Ketentuan Pasal 10 di atas merupakan materi muatan umum untuk Perda setelah dikurangi urusan Pemerintah (Pemerintah Pusat) yang meliputi 6 hal tersebut. Selain sisa dari 6 hal di atas, materi muatan Perda dapat ditambah pula dengan pelimpahan sebagian urusan Pemerintah kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa; pelimpahan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; dan penugasan sebagian urusan kepada Pemerintahan Daerah/atau Pemerintahan Desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Sudah barang tentu, agak sulit untuk mengatakan bahwa sisa dari yang 6 hal di atas menjadi seluruh hal yang di luar 6 hal tersebut. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 10 ayat (5) masih membuka kemungkinan adanya kewenangan urusan Pemerintah lainnya, selain 6 hal tersebut. Untuk memudahkan memahami masalah tersebut, Pasal 11 sampai Pasal 18 membuat rincian mengenai urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Rincian yang ditentukan, masih membuka penambahan urusan pemerintahan di daerah, yakni dengan adanya ketentuan “urusan lainnya (wajib atau pilihan) yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan”, yang dikenal dengan ketentuan delegasian. Disamping itu, ada beberapa pasal yang secara jelas menyebutkan bahwa urusan pemerintahan daerah diatur dengan Perda, misalnya Pasal 158, Pasal 176, Pasal 177, Pasal 181, dan Pasal 200. Materi muatan Peraturan Daerah bagi Daerah Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menyebut materi muatan Qanun dan beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mengatur mengenai materi muatan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Perlu diingatkan bahwa Qanun adalah Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang merupakan Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan Undang-Undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
Adapun Peraturan Daerah di Kabupaten/Kota tidak dinamakan Qanun, tetap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Demikian pula Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 21Tahun 2001. Peraturan Daerah pada Kabupaten/Kota tetap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 telah ditentukan sebagai muatan Qanun yakni mengenai: (1) lambang daerah; (2) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagai penyelenggara adat, budaya, dan pemersatu masyarakat; (3) pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; (4) Kewenangan Mahkamah Syariyah; dan (5) ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi NAD. 
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 telah juga ditentukan sebagai materi muatan Perdasus yakni mengenai: (1) lambang daerah; (2) usaha-usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam; (3) pengembangan suku-suku terisolasi, terpencil, dan terabaikan; dan (4) pelaksanaan pengawasan sosial (pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas MRP, DPRD, Gubernur dan Perangkatnya dalam bentuk petisi, kritik, protes, saran, dan usul. Jika ada suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi daripada Perda yang telah disahkan atau ditetapkan, pemerintah daerah harus menyisir pasal per pasal pada bagian mana terdapat ketentuan delegasian. Hal ini penting untuk menunjukkan sikap kepedulian daerah dalam menangkap keinginan atau aspirasi yang sifatnya nasional. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan bahwa “untuk menyelenggarakan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya: a. penyediaan pelayanan khusus di kantor kepolisian; b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. 
Dengan gambaran di atas, pada dasarnya masih banyak pekerjaan pemerintahan daerah yang harus diselesaikan dengan mempersiapkan raperda-raperda yang disesuaikan dengan materi muatan terkait dengan kewenangan urusan pemerintahan daerah, delegasian dari peraturan perundang-undangan di atasnya, dan atribusi. Untuk mempersiapkan dan membentuk Perda tersebut, perlu diperhatikan Pasal 136 sampai dengan Pasal 147 Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan secara keseluruhan isi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kesimpulan
Peraturan daerah (selanjutnya diringkas Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah [vide Pasal 1 angka 7 UU No. 10/2004]. Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [vide Pasal 18 ayat (6) UUD 1945]. Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10/2004 menggariskan materimuatan Perda adalah seluruh materimuatan dalam rangka: a] penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b] menampung kondisi khusus daerah; serta c] penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah merupakan sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah menempati urutan terbawah dalam hirarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam rangka executive review, ada dua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan Perda yang bermuatan APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta Perda tata ruang. Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, sedangkan Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang provinsi dilakukan oleh pemerintah (pusat). Selanjutnya pengawasan represif dilakukan terhadap seluruh Perda yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah, termasuk Perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif.