Selasa, 21 Oktober 2008

Analisis Terhadap Kedudukan Peraturan Daerah Sebagai Salah Satu Produk Hukum Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Latar belakang

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dirubah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pengertian desentralisasi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengandung beberapa elemen yang penting, pertama, elemen penyerahan wewenang baik wewenang mengatur maupun wewenang mengurus. Dalam hukum publik wewenang terdiri atas hak dan kewajiban. Kedua elemen tersebut merupakan substansi otonomi daerah. 
Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional,regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas,nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan,serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasi masyarakat dan mengundang keterlibatan publik seluas-luasnya dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan yang dijalankan. Untuk itu, desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk secara demokratis mengatur pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi dari cita-cita sistem desentralisasi. Tetapi, pelaksanaan sistem ini mendapatkan tantangan yang cukup besar. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah (1) mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang belum berubah; (2) hubungan antara institusi pusat dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset dan adanya semacam gejala powershift syndrom yang menghinggapi aparat pemerintah; dan (5). pemerintahan daerah dalam rangka membentuk peraturan daerah, melangkah terlalu jauh dengan tidak mengindahkan peraturan perundangan diatasnya.
Berkaitan dengan permasalahan kelima dapat dikatakan merupakan permasalahan klasik yang senantiasa mengiringi pelaksanakan otonomi daerah apalagi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, banyak pihak yang menilai bahwa Pelaksanaan otonomi daerah (otda) atau desentralisasi di Indonesia sudah ‘kebablasan’. Spirit kebebasan yang terkandung dalam konsep otonomi daerah ternyata justru seringkali disimpangi oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. 
Sebagai gambaran, misalnya, tahun 2001 lalu Departemen Keuangan telah mengidentifikasi adanya 80 Perda bermasalah yang berkaitan dengan sektor bisnis. Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), pada tahun yang sama menemukan 1006 Perda bermasalah walaupun setelah dikaji oleh Depdagri hanya 105 Perda yang benar-benar bermasalah.Belakangan, Perda bermasalah ternyata tidak hanya Perda yang terkait dengan sektor bisnis tetapi juga seputar hubungan antar warga masyarakat. Contoh paling mutakhir adalah terbitnya Perda No. 8/2005 tentang Larangan Pelacuran. Perda yang diterbitkan Pemerintah Kota Tangerang ini mengundang banyak kecaman dari sejumlah kalangan, khususnya perempuan.
 
Pembahasan
Dalam konsep otonomi daerah maupun daerah otonom terkandung wewenang (fungsi) mengatur dan mengurus. Istilah mengatur dan mengurus berasal dari istilah teknis hukum (yuridis) hindia belanda yang disebut regeend dan bestuur. Dari segi hukum, mengatur berarti perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku umum dan biasanya bersifat abstrak (tidak mengenai hal dan keadaan yang konkret), sedangkan mengurus berarti perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku individual dan bersifat konkret. Secara materiil, mengurus dapat berupa memberikan pelayanan kepada orang atau badan tertentu dan/atau melakukan pembangunan proyek-proyek tertentu (secara konkret dan kasustik), dalam tulisan ini pengertian mengurus dibatasi pada pengertian hukum saja. Untuk melaksanakan penyelenggaraan otonomi daerah maka pemerintahan daerah provinsi maupun kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk membentuk peraturan daerah. Peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. 
Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) tidak mengatur atau menetapkan tentang jenis peraturan perundang-undangan yang disebut Peraturan Daerah. Dalam Pasal 18 UUD 1945 hanya dirumuskan bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. 
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945 tersebut dibentuklah berbagai undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang mengatur juga di dalamnya tentang kewenangan Pemerintah Daerah untuk membentuk dan menetapkan Peraturan Daerah, dengan demikian kewenangan pembentukan suatu Peraturan Daerah merupakan kewenangan atribusi yang berasal dari undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, khususnya pasal 38, yang menyatakan bahwa Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah menetapkan Peraturan Daerah2. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga dirumuskan dalam Pasal 69 bahwa, “Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut Dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. 
Setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat melakukan Perubahan yang Kedua terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang Paripurna yang diselenggarakan pada tanggal 18 Agustus 2000, rumusan Pasal 18 UUD 1945 yang lama kemudian diubah menjadi 7 (tujuh) ayat, dan pengaturan tentang Peraturan Daerah tertuang secara tegas dalam Pasal 18 ayat (6) yang menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. 
Kedudukan peraturan daerah yang secara resmi diatur dalam pasal 18 ayat (6) Undan-Undang Dasar 1945 Pasal 6 yang menentukan “ Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Mirip dengan penyebutan suatu istilah “ suatu komisi pemilihan umum dalam pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dan “suatu bank sentral” dalam pasal 23D UUD 1945, Penulisan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain dalam pasal 18 ayat (6) UUD 1945 tidak menggunakan huruf besar, artinya “ Peraturan daerah yang dimaksud oleh UUD 1945 itu bukanlah mutlak harus dijadikan nama resmi dari penyebutan baku untuk pengertian peraturan daerah tersebut. Pemberian nama resmi atau penyebutan baku untuk pengertian “ peraturan daerah”, “bank sentral”,dan komisi pemilihan umum itu diserahkan kepada undang-undang untuk menentukannya. Meskipun sekarang undang-undang telah menentukan nama atau sebutan resminya adalah Komisi Pemilihan Umum untuk “komisi pemilihan umum” dan Peraturan Daerah untuk peraturan daerah”, tetapi UUD 1945 sama sekali tidak melarang atau menyalahkan apabila ketiganya disebut dengan nama lain, seperti halnya Bank Indonesia untuk nama “ bank sentral”. Sekarang sebutan resmi untuk peraturan daerajh juga sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan daerah. 
Menurut ketentuan pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, peraturan daerah itu jelas merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang. Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan itu ditentukan sebagai berikut: 
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Dalam Pasal 7 ayat (2)-nya ditentukan pula bahwa peraturan daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan Gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. 
Eksistensi Peraturan Daerah telah diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang undangan yang berlaku dan mengikat umum, bahkan Peraturan daerah selalu diakui keberadaannya di dalam Sistem Hukum di Indonesia. Pengakuan tersebut dapat dilihat dari beberapa pendapat ahli sebagai berikut :
a. Irawan Soejito menyatakan bahwa salah satu kewenangan yang sangat penting dari suatu Daerah yang berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ialah kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah. 
b. Amiroeddin Syarif menyatakan bahwa Peraturan daerah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, yaitu mengatur segala sesuatunya tentang penyelanggaraan pemerintahan, pembangunan serta pelayanan terhadap masyarakat. 
c. Bagir Manan menyatakan bahwa Peraturan daerah adalah nama peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang ditetapkan Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah membentuk Peraturan daerah merupakan salah satu ciri yang menunjukkan bahwa pemerintah tingkat daerah tersebut adalah satuan pemerintahan otonom – berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. 
d. A. Hamid S Attamimi menyatakan bahwa dalam tata susunan peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia, Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang terletak dibawah peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat (dalam hal ini kedudukannya di bawah Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen). 
Dari segi fungsinya, Peraturan Daerah Provinsi adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat provinsi dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 13 ( tugas pembantuan ) dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP. No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi (Vide Pasal 3 PP No. 25/2000). Disamping itu fungsi Peraturan Daerah Provinsi juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Provinsi dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan perhitungan APBD dan pengolahan keuangan daerah Provinsi sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antar pemerintah pusat dan daerah. 
Fungsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah sepenuhnya di tingkat Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 dan Pasal 13 UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 25 Tahun 2000 (Vide Pasal 3 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) melalui teori residu. Fungsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Kabupaten/Kota dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah. Kabupaten/kota sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Dan Daerah. 
Peraturan Daerah menurut Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas Peraturan Daerah menempati jenjang rendah, karena itu Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dengan nada yang lebih tegas, menurut Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bertentangan dengan kepentingan umum dalam ketentuan diatas ialah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menurut Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dibatalkan oleh Pemerintah. 
Keputusan pembatalan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah tersebut. Selain itu Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menetapkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menyatakan ketidaksahan peraturan perundang-undangan dibawah undang undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. 
Ketentuan tersebut di atas merupakan mekanisme kontrol dalam rangka menjaga keserasian Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebab peraturan daerah merupakan salah satu sub sistem dalam sistem peraturan perundang-undangan dalam Negara RI. Oleh karena itu Peraturan Daerah harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Artinya Peraturan Daerah sebagai instrument penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan selain harus mampu menampung kondisi khusus atau ciri khas masing-masing daerah juga harus ditempatkan dalam konteks penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain Peraturan Daerah ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Prof. MR. Paul Scholten antara lain mengemukakan: “Dan dari kesatuan hukum itu muncul, bahwa aturan-anturan harus memperhatikan homogenitas logical, yang menyebabkan menata diri ke dalam suatu sistem”. Lebih lanjut dikemukakan: “Tiap aturan hukum hanya berlaku dalam konteks interaksi dengan aturan-aturan hukum yang lain”. Kemudian dikatakannya bahwa hal ini hanya mungkin, jika aturan-aturan itu secara logical berada dalam saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, mewujudkan satu kesatuan, jadi jika mereka mewujudkan sebuah sistem. 

Dari segi materimuatan, Perda adalah peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Perda secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya. Dalam pendekatan Stufenbau des Recht yang diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori tersebutlah kemudian dalam ilmu hukum turun menjadi asas “lex superior derogate legis inferiori.” 
Dalam nalar lain, Perda dianggap sebagai peraturan yang paling dekat untuk mengagregasi nilai nilai masyarakat di daerah. Peluang ini terbuka karena Perda dapat dimuati dengan nila-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Oleh karena itulah banyak Perda yang materimuatannya mengatur tentang pemerintahan terendah yang bercorak lokal seperti Nagari di Sumatera Barat, Kampong di Aceh, atau yang terkait pengelolaan sumberdaya alam seperti Perda pengelolaan hutan berbasis masyarakat, hutan rakyat, pertambangan rakyat dan lain sebagainya.
Disamping itu, posisi Perda yang terbuka acap juga menjadi instrumen pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Perda pajak daerah atau Perda retribusi daerah. Perda jenis terakhir inilah yang paling mendominasi jumlah Perda sepanjang otonomi daerah yang bergulir sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelengaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta pengaturan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), beberapa pasal menyebut mengenai materi muatan Perda. Pasal 10 menentukan bahwa: (1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang- Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-seluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal nasional; dan f. Agama. (4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa. (5) Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah, di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat: a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; dan c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. 
Ketentuan Pasal 10 di atas merupakan materi muatan umum untuk Perda setelah dikurangi urusan Pemerintah (Pemerintah Pusat) yang meliputi 6 hal tersebut. Selain sisa dari 6 hal di atas, materi muatan Perda dapat ditambah pula dengan pelimpahan sebagian urusan Pemerintah kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa; pelimpahan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; dan penugasan sebagian urusan kepada Pemerintahan Daerah/atau Pemerintahan Desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Sudah barang tentu, agak sulit untuk mengatakan bahwa sisa dari yang 6 hal di atas menjadi seluruh hal yang di luar 6 hal tersebut. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 10 ayat (5) masih membuka kemungkinan adanya kewenangan urusan Pemerintah lainnya, selain 6 hal tersebut. Untuk memudahkan memahami masalah tersebut, Pasal 11 sampai Pasal 18 membuat rincian mengenai urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Rincian yang ditentukan, masih membuka penambahan urusan pemerintahan di daerah, yakni dengan adanya ketentuan “urusan lainnya (wajib atau pilihan) yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan”, yang dikenal dengan ketentuan delegasian. Disamping itu, ada beberapa pasal yang secara jelas menyebutkan bahwa urusan pemerintahan daerah diatur dengan Perda, misalnya Pasal 158, Pasal 176, Pasal 177, Pasal 181, dan Pasal 200. Materi muatan Peraturan Daerah bagi Daerah Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menyebut materi muatan Qanun dan beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mengatur mengenai materi muatan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Perlu diingatkan bahwa Qanun adalah Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang merupakan Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan Undang-Undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
Adapun Peraturan Daerah di Kabupaten/Kota tidak dinamakan Qanun, tetap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Demikian pula Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 21Tahun 2001. Peraturan Daerah pada Kabupaten/Kota tetap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 telah ditentukan sebagai muatan Qanun yakni mengenai: (1) lambang daerah; (2) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagai penyelenggara adat, budaya, dan pemersatu masyarakat; (3) pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; (4) Kewenangan Mahkamah Syariyah; dan (5) ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi NAD. 
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 telah juga ditentukan sebagai materi muatan Perdasus yakni mengenai: (1) lambang daerah; (2) usaha-usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam; (3) pengembangan suku-suku terisolasi, terpencil, dan terabaikan; dan (4) pelaksanaan pengawasan sosial (pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas MRP, DPRD, Gubernur dan Perangkatnya dalam bentuk petisi, kritik, protes, saran, dan usul. Jika ada suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi daripada Perda yang telah disahkan atau ditetapkan, pemerintah daerah harus menyisir pasal per pasal pada bagian mana terdapat ketentuan delegasian. Hal ini penting untuk menunjukkan sikap kepedulian daerah dalam menangkap keinginan atau aspirasi yang sifatnya nasional. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan bahwa “untuk menyelenggarakan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya: a. penyediaan pelayanan khusus di kantor kepolisian; b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. 
Dengan gambaran di atas, pada dasarnya masih banyak pekerjaan pemerintahan daerah yang harus diselesaikan dengan mempersiapkan raperda-raperda yang disesuaikan dengan materi muatan terkait dengan kewenangan urusan pemerintahan daerah, delegasian dari peraturan perundang-undangan di atasnya, dan atribusi. Untuk mempersiapkan dan membentuk Perda tersebut, perlu diperhatikan Pasal 136 sampai dengan Pasal 147 Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan secara keseluruhan isi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kesimpulan
Peraturan daerah (selanjutnya diringkas Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah [vide Pasal 1 angka 7 UU No. 10/2004]. Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [vide Pasal 18 ayat (6) UUD 1945]. Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10/2004 menggariskan materimuatan Perda adalah seluruh materimuatan dalam rangka: a] penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b] menampung kondisi khusus daerah; serta c] penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah merupakan sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah menempati urutan terbawah dalam hirarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam rangka executive review, ada dua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan Perda yang bermuatan APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta Perda tata ruang. Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, sedangkan Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang provinsi dilakukan oleh pemerintah (pusat). Selanjutnya pengawasan represif dilakukan terhadap seluruh Perda yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah, termasuk Perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif.

Tidak ada komentar: