Selasa, 21 Oktober 2008

ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Latar Belakang

Pembaharuan hukum pidana nasional pada dasarnya merupakan bagian dari pembaharuan terhadap substansi (materi hukum nasional), menurut Satya Arinanto, Salah satu permasalahan mendasar yang sering diwacanakan dalam era reformasi ini adalah mengenai aspek hukum. Aspek hukum yang dimaksudkan disini mencakup berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi tiga (3) anasir sebagai berikut: (1) structure (tatanan kelembagaan)dan kinerja lembaga); Substance (materi hukum); dan legal culture (budaya hukum).Dalam konteks substansi hukum, terdapat beberapa permasalahan yang mengemuka antara lain sebagai berikut: terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan dan implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksananya.
Rancangan Undang-undang (RUU) Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini draftnya masih dibahas di Departemen Hukum dan HAM menunai banyak kritikan. Kritik yang utama adalah RUU ini dianggap ”over criminalization”. Sejumlah delik baru dan delik-delik yang tersebar dalam sebagian besar UU yang mencantumkan tindak pidana dimasukkan dalam RUU KUHP ini. Akibatnya RUU menjadi sangat luas dari sisi jumlah pasalnya maupun cakupan permasalahan yang dipidanakan. Draft RUU KUHP ini terdiri dari 741 pasal yang dibagi dalam 36 Bab. Selain sangat luas, RUU KUHP memasukkan kejahatan dengan karakteristik khusus baik dari segi materi hukum pidananya maupun hukum acaranya. Hal ini diprediksikan berakibat tidak akan efektifnya penerapan RUU KUHP terhadap beberapa jenis kejahatan yang berkarakter khusus tersebut. 

Salah satu kejahatan yang akan dimasukkan dalam RUU KUHP adalah tindak pidana hak asasi manusia yang meliputi tindak pidana genosida, tindak pidana terhadap kemanusiaan, tindak pidana dalam masa perang atau konflik bersenjata dan tindak pidana penyiksaan. Tindak pidana tersebut tertera pada Bab IX Pasal 394-404 RUU KUHP. 
Kejahatan-kejahatan tersebut dalam perkembangan hukum pidana internasional merupakan kejahatan khusus yang dikategorikan sebagai ” gross violation of human rights”, bahkan Statuta Roma 1998 menyebut kejahatan ini sebagai kejahatan yang paling serius (the most serius crime). Beberapa tindak pidana tersebut merupakan jenis kejahatan yang telah diatur pula dalam berbagai konvensi internasional misalnya konvensi tentang pencegahan dan penghukuman genosida 1949, konvensi anti penyiksaan dan jenis-jenis kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Statuta Roma 1998, berbagai pengadilan internasional telah digelar untuk mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. 
Selain tindak pidana hak asasi manusia dalam RUU KUHP ini juga dimasukkan beberapa tindak pidana yang juga memiliki keterkaitan erat dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia seperti, tindak pidana informasi rahasia, kejahatan perkosaan, kejahatan terhadap agama, keyakinan, dan aliran kepercayaan, kebebasan pers, tindak pidana pornografi dan pornoaksi, proteksi negara, tindak pidana lingkungan

Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka muncul permasalahan berkaitan dengan aspek perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, permasalahan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: Pertama, apakah penyusunan RKUHP telah memasukkan unsur perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai pertimbangan penyusunannya. Kedua, Bab-Bab mana apa saja dalam RKUHP yang potensial melanggar Hak Asasi Manusia

Pembahasan
Berkaitan dengan wacana HAM di Indonesia maka dapat kita lihat dari perspektif historis. Jika kita melakukan peninjauan historis terhadap proses pembentukan negara Republik Indonesia (RI) pada tahun 1945, akan tampak bahwa masalah HAM telah mendapatkan perhatian-dan bahkan menjadi bahan perdebatan yang serius. Rapat besar Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ( Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPK) yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juli 1945 misalnya menyipan memori perdebatan founding fathers tentang perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD, yang kemudian hari kita kenal sebagai UUD 1945.Dari perdebatan dalam BPUKI akhirnya disepakati bahwa tentang HAM pengaturannya dimasukkan dalam UUD 1945 yaitu dalam pasal 27 ayat (1) : “ Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ayat (2) menyatakan: “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, Pasal 28 : “ Kemerdekaann berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, Pasal 29 ayat (2) :“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, Pasal 30 ayat (1) :” tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara”, Pasal 31 ayat (1) : “ Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”, dan pasal 34 : “ Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”.
Pasca perubahan UUD 1945 tahun 2002 secara yuridis perlindungan HAM semakin mendapatkan tempat, hal ini dikarenakan dalam UUD 1945 pasca perubahan dicantumkan lebih banyak pasal-pasal yang secara khusus mengatur mengenai HAM. UUD 1945 setelah perubahan mengatur permasalahan jaminan HAM dalam bab tersendiri yaitu Bab XA.Isi Bab tersebut memperluas Pasal 28 UUD 1945 yang semula hanya terdiri dari satu pasal dan 1 ayat, menjadi beberapa pasal dan beberapa ayat. Pasal-pasal dan ayat tersebut tercantum dalam pasal 28A hingga pasal 28J.
RKUHP dimaksudkan untuk menggantikan KUHP yang lama, yang sudah berlaku selama lebih dari seratus tahun sejak 1886 di negeri belanda dan kemudian berlaku di Indonesia berdasarkan asas konkordansi (penyamaan dengan sistem hukum induknya), meskipun saat itu baru dikenakan untuk golongan eropa saja. Disamping tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama karena isinya yang sangat dipengaruhi situasi politik pada masa kolonial belanda, materi KUHP juga melanggar sejumlah hak asasi manusia berkaitan dengan kehidupan demokrasi, kependudukan, hak-hak sipil dan perlindungan hak-hak pribadi (misalnya mengenai pembatasan unjuk rasa melalui politik perijinan, larangan mengenakan alat-alat pencegah kehamilan, pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara sekalipun dengan kritik yang terbilang halus, dan juga adanya pengekangan terhadap kebebasan memilih dan menjalankan ibadah berdasarkan kepercayaan.
Menurut Mardjono Reksodipuro, konsep-konsep awal RKUHP yang diajukan pada tahun 1993 telah memperhatikan perlindungan terhadap Hak Asasi Warga masyarakat dengan didukung oleh tiga prinsip yaitu :
a. Hukum pidana (juga) dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar ( fundamental sosial values) perilaku hidup masyarakat (dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi negara pancasila);
b. Hukum pidana (sedapat mungkin) hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain untuk melakukan pengendalian sosial (social control) tidak (belum) dapat diharapkan keefektifannya; dan
c. Hukum pidana (yang telah dipergunakan kedua pembatasan, a dan b diatas), harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin dari potensi mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektivitas dalam masyarakat demokratis yang modern. 

Kesimpulan
Dari rumusan RKUHP terutama yang berkaitan dengan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia ternyata ditemui banyak kelemahan, dimana kelemahan tersebut berpotensi melanggar perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.Dalam RKUHP BAB tentang Tindak Pidana Hak Asasi Manusia ditemui beberapa kelemahan seperti: Pertama, pengaturan atau rumusan yang dimasukkan tidak memadai, baik karena tidak lengkap dan hanya mencomot bagian-bagian tertentu dari norma-norma internasional, maupun karena penterjemahan yang tidak baik sehingga istilah yang digunakan tidak tepat. Kedua,ada banyak istilah-istilah yang digunakan tidak dijelaskan secara baik atau tidak ada penjelasannya.
Sementara itu berkaitan dengan pengaturan tentang kebebasan pers dalam RKUHP juga ditemui banyak pasal dalam RKUHP yang berpotensi melanggar HAM di bidang kebebasan individu menyampaikan pendapat.Gejala ”Over Criminalization” ini terlihat sangat jelas dalam delik pers. Banyak perilaku yang dilihat dari sifatnya merupakan bagian dari kebebasan individu, kemudian diatur dalam hukum pidana. Bagi jurnalis, pasal-pasal dalam RKUHP bisa menghalangi dan menyulitkan kerja wartawan.disamping itu RKUHP juga mengatur masalah agama yang menjadi domain dari kebebasan individu.
Secara garis besar RKUHP hanya mengulang dan memperkuat KUHP lama yang sampai saat ini masih berlaku di Indonesia karena nyaris tidak ada perubahan yang sigifikan dalam RKUHP tersebut, terutama dari sisi paradigma. Alasan yang dipergunakan penyusun RKUHP masih harus diuji apakah hanya sekedar jargon atau ataukah memang dilandasi oleh dasar pemikiran yang kuat untuk menjawab kebutuhan masa sekarang dan masa yang akan datang terutama menyangkut penghormatan, pemenuhan, perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia, kebebasan dasar dan nilai-nilai demokrasi. 
Dari tinjauan menyeluruh terhadap RKUHP, terlihat bahwa semangat pembaharuan RKUHP tidak diletakkan dalam kerangka politik yang telah berubah, yang seharusnya mengarah ke sisitem demokrasi. RKUHP masih menunjukkan masih menunjukkan cara berpikir warisan sistem otoriter, dimana upaya untuk mengendalikan kebebasan warga negaranya masih terasa sangat kuat. Karenanya,alih-alih mendemokratiskan hukum pidana dan hak asasi manusia, politik kriminal yang terkandung dalam RKUHP justru mengancam kebebasan dasar dan hak asasi manusia.

Tidak ada komentar: